Ketika Almarhum Kiai Masduqie Machfudh masih kuliah di Jogja,
ada salah satu dosennya yang anti terhadap ziarah kubur. Dosen tersebut
menyatakan secara terang-terangan bahwa hukum ziarah kubur adalah haram.
Suatu saat Kiai Masduqie Machfudh mendapatkan
kesempatan untuk berdialog dengan dosen itu seputar hukum ziarah yang hingga
kini masih diperdebatkan itu.
“Kalau ada ‘amr jatuh
setelah nahyi itu hukumnya apa, Pak?” Abah membuka dialog dengan
pertanyaan. Dalam kaidah usuhul fiqih, redaksi perintah (‘amr) yang
datang setelah adanya larangan (nahy) membuat status hukum suatu
perbuatan menjadi boleh.
Sang dosen mengerti tentang kaidah ini dan
menjawab, “Mubah.”
“Kalau amr-nya ada qarinah-nya
bagaimana, Pak?” Qarinah merupakan keterangan nash yang memperjelas status
hukum.
“Ya, sunnah.”
“Pak, mengharamkan suatu hal yang sunah itu hukumnya
bagaimana?”
“Ya kufur, dong.”
“Sekarang saya tanya, bagaimana hukumnya ziarah kubur, Pak?”
“Haram.”
Kiai Masduqie lantas menunjukkan bahwa sang dosen sedang
mengharamkan perbuatan yang berstatus sunnah. Dengan logika itu, dosen ini
secara otomatis masuk dalam kategori orang yang kufur.
Mendengar kata-kata tersebut, sang dosen bertanya keheranan,
“Lho, kok gitu?”
Kiai Masduqie lalu menyodorkan hadits shahih yang menunjukan
bahwa ziarah kubur itu adalah sunnah, alias mendapat pahala bagi yang
mengamalkannya. Dalam hadits tersebut termuat amr yang jatuh setelahnahyi dan amr tersebut juga disertai qarinah yang
memberi kesan
bahwa perbuatan bersifat positif.
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ اْلقَبْور فَزُوْرُوهَا فَإنّها تَذكر الأخِرَة
“Aku (Nabi SAW) dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena yang demikian itu mengingatkan akan kehidupan akhirat.”
Ternyata sang
dosen tidak mengetahui keberadaan hadits ini. Sehingga ketika Kiai Masduqie
menyodorkan hadits tersebut, sang dosen hanya diam.
Tak semua perbedaan pendapat disebabkan perilaku “asal beda”, atau karena hasrat ingin memusuhi. Seringkali perbedaan dipicu oleh ketakseragaman cara persepsi atau lantaran tidak tahu. Di sinilah pentingnya kemauan untuk terus belajar, berdialog dan tabayun (klarifikasi), sehingga perbedaan yang merupakan rahmat menjadi kian indah karena disikapi secara dewasa tanpa saling membenci.
______________________
Oleh: Indirijal Lutofa (Diedit oleh tim redaksi NU Online dan dimuat di NU Online pada 22 juni 2016
0 komentar
Posting Komentar