Blogroll

Jumat, 15 April 2016

Riyadhoh Tidak Pulang 3 Tahun

Sebagian pesantren, khususnya pesantren salaf, tidak asing lagi dengan riyadhoh dalan bentuk tidak pulang tiga tahun. Sampai saat ini, masih banyak santri pesantren yang mengamalkan riyadhoh semacam itu.
Di Pondok Kwagean, masih sangat kental dengan riyadhoh semacam itu. Di sana, di sampingn pengamal tidak pulang tiga tahun, pengamal juga membarenginya dengan puasa selama tiga tahun tidak pulang itu.
Ada seorang santri Kwagean yang jarak rumahnya paling 50 meter dari pondoknya, ia ikut mengamalkan riyadhoh di atas tadi. Ia puasa tiga tahun dan tidak pulang ke rumah yang sangat dekat dengan pondoknya selama tiga tahun itu.
Begitu juga dengan KH. Kafa Bihi Lirboyo, beliau itu keluarga ndalem Pondok Lirboyo, putra dari KH. Mahrus Ali. Beliau mondok di Lirboyo juga. Nah selama mondok di Lirboyo, beliau pernah tiga tahun tidak pulang ke rumahnya yang masih di lingkungan Pondok Lirboyo saja. Itu dilakukan tentu sebagai bentuk riyadhoh.
Gus Yahya Rembang dalam teronggosong-nya mengkisahkan;
KH. Ach. Masduqi Mahfudh, Malang menceritakan bahwa Mbah Ali Ma'shum memiliki maziyah (keistimewaan) bisa mentransfer ilmu tanpa mengajar secara verbal.
Pada waktu pertama kali datang ke Krapyak –- mungkin sekitar tahun 50-an atau 60-an, Santri Masduqi diajak mengikat janji oleh Mbah Ali,
“Kalau kamu sanggup tinggal di pondok nggak pulang-pulang sampai tiga tahun penuh, kujamin kamu akan jadi lebih ‘alim ketimbang yang sudah mondok 15 tahun tapi bolak-balik pulang”, begitu akadnya.
Santri Masduqi benar-benar melaksanakan akad itu. Pada akhir tahun ketiga, barulah ia pamit pulang.
Sebelum mengijinkan, Mbah Ali meraih tangan Santri Masduqi dan membawanya ke meja makan.
“Ayo makan bareng aku”, kata beliau.
Tapi ketika Santri Masduqi hendak meraih centong nasi, Mbah Ali melarangnya,
“Kamu duduk saja!” lalu tanpa terduga beliau mengambilkan nasi untuk santrinya itu, meladeninya dengan sayur dan lauk-pauk hingga minuman sesudah makan, seolah Mbah Ali-lah yang menjadi khadam.
“Sejak saat itu”, kisah Kyai Masduqi, “tak ada kitab yang sulit bagiku. Setiap ada lafadh yang tak kuketahui maknanya, seperti ada yang membisiki telingaku, memberi tahu artinya…”

Oleh: Indirijal Lutofa melalui akun facebook-nya pada 12 Maret 2016

0 komentar

Posting Komentar